Tiba-tiba saya teringat pada narasi buku pelajaran Bahasa Indonesia di SD. Jaman dulu ketika masih bocah yang berbunyi: “Bapak pergi ke kantor, Ibu pergi ke pasar.”
Barangkali kalau disesuaikan dengan situasi sekarang, teksnya akan sedikit mengalami penyesuaian. Tidak lagi pergi ke pasar, tapi ke supermarket, atau ke mall. Sebab, kini di tengah perubahan jaman, jumlah pasar-pasar tradisional terus mengalami penyusutan. Kalah oleh gemerlapnya supermarket, atau mall yang terus tumbuh bahkan hingga ke pelosok-pelosok kota kecil.
Pasar-pasar modern, mulai dari mall, hypermarket atau apalah, memang memamerkan kegenitannya yang membuat pengunjung betah berlama-lama di sana. Dengan penataan yang bagus, ruangan ber-AC, tata parkir yang nyaman. Barang apa saja tersedia di sana dan harganya juga semakin terjangkau bagi kalangan berkantong cepak, dan bahkan pada beberapa dari mereka menyatakan siap untuk melayani pengunjung kapan saja alias buka dalam 24 jam.
Kehadiran pasar-pasar modern itulah yang membuat pengunjung kian enggan mendatangi pasar-pasar tradisional. Barangkali juga karena pasar tradisional masih identik dengan suasana yang semrawut, bau serta becek. Belum lagi faktor keamanan, misalnya copet atau preman yang kadang memang suka nongkrong di pojok-pojok pasar. Tapi seorang teman memiliki alasan lain, dia tidak bisa menawar harga sehingga tidak bisa mendapat harga yang lebih murah.
Sejatinya pasar-pasar tradisional tersebut harus tetap menjadi perhatian pemerintah. Sebenarnya ada Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang bertujuan untuk memberi perlingungan pada pasar tradisional. Namun demikian sering kali pengaturan jarak, zona dan batasan-batasannya yang sudah ditetapkan dalam perpres tersebut tidak dipatuhi.
Saat ini jumlah pasar tradisional di Indonesia diperkirakan lebih dari 11.000-an dengan jumlah pedagang mencapai 12,5 juta. Kalau digabungkan dengan anak dan istri, termasuk pemasok, kira-kira orang yang terlibat di pasar tradional, mencapai 50 juta orang. Selain itu masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada lorong-lorong pasar, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak. Bisa dibayangkan kalau kelak dikemudian hari pasar tersebut harus tutup.
Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah pasar tradisional di sejumlah tempat di Jawa Tengah tahun 2008 turun dibandingkan dengan tahun 2007 yakni dari 2.012 menjadi 1.842 unit pasar tradisional. Sebaliknya, jumlah pasar modern tumbuh hingga hampir 400 unit di sepanjang tahun 2008, terdiri atas mal, pasar swalayan, dan pusat perbelanjaan.
Selain alasan ekonomi tadi, pada beberapa tempat pasar-pasar tradisonal tersebut misalnya Pasar Beringharjo di Yogya, Pasar Gede di Solo, Pasar Tanah Abang di Jakarta, selain menjadi ikon suatu wilayah, juga memiliki sejarah yang panjang sehingga sangat pantas untuk dijaga keberadaannya.
Di Ambang Kebangkrutan Pasar Tradisional
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
31 comments:
aku malah suka belanja di pasar tradisional lhouu
Yang saya heran kini banyak sekali mini market masuk desa, kasihan pedagang kecil yang hanya bermodal pas2-an.
hal-hal seperti ini seharusnya juga mendapat perhatian dari pemerintah, dan bukan hanya melindungi kepentingan para pemilik modal besar
Sudah seharusnya pasar tradisional yang menjadi maskot daerah dan cikal bakal perekonomian rakyat madani harus dipertahankan, melalui perda atau peraturan yang lebih tegas.
Kalaupun ingin membangun pasar modern, maka pasar tradisional harus dijaga jumlah dan keberadaannya agar bisa bersanding yang sehat.
kalo melihat secara data statistik terlihat sekali kemundurannya yah. Namun jika masuk pasar masih macet dan berdesakan aroma pasar masih semarak sangat terasa.
Kebetulan sekali saya sering nganter istri kalo sabtu pagi ke pasar.
Sensasi pasar tradisional memang indah sebetulnya.
Trims :)
@salam Kenal Kang Joe, ane datang membawa silaturrahim persahabatan
mewabahnya waralaba nasional ke pelosok gang di seluruh penjuru negeri ini telah banyak membuat pelaku pasar tradisional (toko yang lama)semakin kembang kempis, hanya bisa menompang dagu menyaksikan pelanggannya disedot. bahkan banyak yang harus menutup usahanya. Inikah yang dinamakan penjajahan ekonomi? perputaran uang sudah tidak bisa lagi di pasar lokal. semua hasil disedot ke pusat.
pertanyaannya, kenapa pemerintah daerah banyak yang menutup mata akan hal ini. nurani telah tergantikan ...
ohya, ijin nempel link
cek di link sahabat, agar terjalin silaturrahim
pasar tradisional kondisinya agak timpang di masing2 daerah. ada yg maju, ada yg terpuruk
sebenarnya lebih enak belanja di pasar tradisional. kualitas dan harganya juga ngak kalah bagus sama yg modern. apalagi kalo beli kebutuhan pokok lebih terasa belanjanya di pasar tradisional
Di daerahku saja pasar traditional sangat sepi. Bagaimana tidak di daerah kecil seperti daerahku yang penduduknya tidak seberapa ada terdapat sekitar 8 mini market bahkan 2 di antaranya berkembang hampir jd supermarket.
ck ck ck ck
masalahnya belanja di pasar traditional kdg memang malas karena pake acara nawar. Tapi aku suka belanja sayuran di pasar traditional.
(meski cuma setengah tahun sekali, hehe)
Klo banyak supermarket atau mall, kotanya jadi keliatan lebih modern, tp sayang harus mengorbankan masyarakat kecil...!!!
Selain jd ikon, pasar tradisional jg sebagai budaya. Seorang wanita sebelum jd ibu rumah tangga harus merasakan dulu pengapnya pasar tradisional, itu klo di tempatku...!!!
efek perubahan zaman dan modernisasi kadang memang kontra produktif ;;;
Pasar tradisional sekarang ini mulai meredup diganti yang lebih mak nyus
supermarket kian merajalela kayak jamur
berkunjung pagi.
mini market dan supermarket kian bertebaran
Bahkan di kota kecilku telah ada carrefour..padahal bukan kota besar...
Di Kompas kemarin, digambarkan pasar tradisional di Sidney masih layak dan diminati pembeli...tentu saja dikelola lebih bersih. Justru kenikmatan tawar menawar yang sebagian besar dimiliki kaum ibu yang sekarang menjadi hilang.
pasar tradisional biasanya lebih murah cm dengan kehadiran supermarket jd mematikan pangsa pasar tradisional
seperti hukum rimba, yang besar memakan yang kecil...
harusnya pemerintah lebih ketet untuk urusan ini. jangan sampai mematikan pasar tradisional. ^_^
orang nggak suka lagi belanja di pasar tradisional karena pengaruh lebih nyaman di supermarket kali mas. apalagi musim hujan gini, pasar tradisional bisa jadi becek...kotor, sesak dan sebagainya...
Susah juga sih selama pemerintahnya kurang memperhatikan rakyat kecil
Susah juga sih selama pemerintahnya kurang memperhatikan rakyat kecil
pasar tradisional lebih asik, bisa tawar twaran hehehe :D
sekarang emang bersaing ya..hars dikelola dg baik sih pasar tradisional agar bisa bersaing dg supermarket.
aku salut dengan pasar Beringharjo dan kawasan di belakangnya
ditempatku udah membenahi 1 pasar tradisional dan sedang mengerjakan 1 lagi
penyebab makin memudarnya pasar tradisional adalah pelaku pasarnya sendiri gabisa menjaga kondisi sehingga orang tidak lagi mengimejkan pasar tradisional itu kumuh dan harus ribet tawar menawar agar tidak kelembon gareng...
kelembon gareng he he....
salam kenal...
satu yang paling saya sukai dari pasar tradisional adalah begitu berharganya 100 rupiah...didapat dengan tawar menawar yang begitu alot..
tapi sekarang pasar tradisional dikepung minimarket dimana-mana..aturan tentang jarak minimum antara minimarket dengan pasar tradisional pun kadang hanya aturan belaka..
itulah, karena mereka punya modal besar sehingga bisa menego peraturan yang ada...
salam kenal juga ...
mungkin pasar tradisional tak selengkap supermarket/mall, tapi ia memiliki ciri khas...mutu...dan nilai tersendiri, i love pasar tardisional
Post a Comment
Pembaca dapat memberikan komentar yang terkait dengan artikel yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan penulis blog dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator. Komentar yang berisi promosi atau tautan yang mengarah ke situs pornografi, perjudian atau pelanggaran lain akan dihapus.