Saya mengenalnya di sebuah kios kecil agen majalah, ketika sedang membeli sebuah koran nasional terbitan Jakarta. Rambutnya memutih kapas, umurnya mungkin 60-an, Pak Kirno, pensiunan guru. “Saya membeli majalah ini sejak harganya masih Rp 150, sampai sekarang,” di tangannya ada majalah berbahasa Jawa, edisi terbaru. Panjebar Semangat. Lalu katanya setengah mengeluh, setengah prihatin: “…kalau orang-orang muda pasti tidak tahu majalah ini…” Lalu saya masih teringat pada Pak Kirno. Kagum atas kesetiannya, kagum atas dedikasinya untuk tetap menghidupkan majalah itu hingga kini. Juga merasa bersalah, sebab saya mungkin di antara orang-orang muda itu.
Memang ironis, meski mayoritas dari lebih 200 juta penduduk Indonesia adalah orang Jawa, namun ternyata tidak banyak ditemukan media berbahasa Jawa di negeri ini. Saat ini tinggal 3 media berbahasa Jawa yang masih eksis di Indonesia. Yaitu Jaya Baya dan Panjebar Semangat, keduanya terbit di Surabaya dan Djoko Lodang di Yogyakarta. Masih untung di Solo ada koran Solo Pos yang selalu menyisipkan suplemen berbahasa Jawa setiap Kamis.
Khusus untuk JB dan PS, ternyata majalah tersebut sudah berusia puluhan tahun, mereka ikut menjadi saksi perjalanan republik ini. PS yang namanya tetap menggunakan ejaan lama terbit kali pertama tahun 1933. Pendirinya adalah tokoh pergerakan dr. Soetomo, yang juga pendiri Budi Utomo. Sementara JB pertama kali terbit di Kediri pada 1 Desember 1945, sebelum kemudian pindah ke Surabaya. Uniknya, meski terbit di Surabaya namun kedua majalah tersebut tetap menggunakan bahasa Jawa dengan gaya Jawa-Tengah-an ngoko halus, dan bukannya dengan dialek khas arek Suroboyo-an.
PS pernah mengalami puncak kejayaan di tahun 1950-1960. Ketika itu PS terbit dengan oplah hingga 80.000 eksemplar, mengalahkan majalah terkenal berbahasa Indonesia yang terbit di Jakarta Star Weekly. Angka tersebut tentu saja cukup fenomenal mengingat tahun tersebut tentu saja belum sebesar sekarang, dengan persentase penduduk yang melek huruf juga relative sedikit.
Sementara JB juga pernah merasakan masa keemasan dengan di tahun 1990-an dengan tiras 90.000-an eksemplar. Ketika itu andalannya adalah vignette, yang menyajikan angka-angka untuk diterjemahkan menjadi kode-kode KSOB, alias kupon berhadiah.
Tapi itu dulu. Kini majalah-majalah itu terus kesepian. Meski tetap menyajikan menu seperti biasa, pengetahuan umum, dunia Jawa, cerita pewayangan, cerita bersambung, cerita pendek dan dunia misteri, dengan nyaris tanpa iklan. Tirasnya juga terus menurun, hanya sekitar 10.000-an. Padahal majalah-majalah tersebut telah menghasilkan nama-nama besar di khasanah sastra Jawa. Seperti Suparto Brata, Any Asmara, Esmiet, Tiwiek SA, Tamsir AS, hanya beberapa nama.
Majalah-majalah tersebut mencoba terus bertahan di tengah perubahan jaman. Mereka mencoba terus setia dengan idealismenya untuk tetap mengabadikan bahasa Jawa kepada para pelanggannya yang setia menunggu. Para pelanggan itu ternyata tidak hanya tersebar di pulau Jawa saja, namun bahkan hingga Aceh dan Papua bahkan ke manca, Suriname dan Belanda. Tentu saja mereka hanya orang-orang tertentu, seperti Pak Kirno dan orang-orang sepuh lainnya. Coba, seandainya ditanyakan kepada anak-anak muda, ‘generasi facebook ‘itu, niscaya tidak akan banyak yang kenal nama-nama majalah jadul tersebut.
Dan jika suatu saat nanti Pak Kirno sudah tidak ada, akan berkurang lagi pelanggan setia majalah-majalah tersebut. (gambar dari guskar.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
30 comments:
ada ya majalah itu. tapi gak pernah liat di toko buku ya.
memang ini menjadi renungan buat kita , bagaimana kalau sampai anak muda sudah tidak mengenal lagi tradisi kita ini, sedangkan harapan kita semua adalah Pemuda untuk melestarikan ini .
Kalo setahuku, di jogja masih dilestarikan budaya mengenal bahasa jawa oleh masyakarat jawa sendiri dengan cara pengenalan dini di sekolah-sekolah tingkat dasar sampai menengah dalam mata pelajaran muatan lokalnya. kalo majalah, aku ga tau deh. hehehe
salam kenal ya... :D
nostagia ya bos
kalo bukan kita siapa lagi yang akan menghidupkan majalah tersebut dengan membelinya?
Bahasa memang harus terus dipertahankan..dan semoga penerbit majalah tersbt bisa membuat perubahan dgn sedikit sentuhan teknogi menjadikan majalah tersebut menarik minat kaula muda..
Mereka semakin tenggelam oleh gerusan jaman dan ketidak pedulian.....
jadi inget dulu ada majalah bahasa sunda yang namanya Mangle, ntah kemana sekarang... majalah lokal dengan bahasa daerah kurang bisa eksis tergerus kemajuan jaman
prihatin banget....sedikit yang sadar....
Perlu kesadaran masing2 individu utk melestarika budaya
ya termasuk majalah bahasa daerah kita :)
joko lodang nang jogja juga kayane angel wis an om ditemokke...
Sayang kalau majalah sebagus itu tidak dilakukan langkah penyelamatan
wis meh lali aku, mbiyen yo sering moco ...
senanganku jagading lelembut, marai ora iso turu ki
sayang sekali mereka adalah saksi perjuangan bangsa ini ...
Nyambung komentar Mamah Aline, Mangle sekarang masih dijual. Cuman penggemarnya mungkin hanya kalangan tertentu.
Apakah kita sedang membicarakan pelestarian majalah berbahasa Jawa atau pelestarian bahasa Jawa itu sendiri?
Untuk membuat sebuah majalah (bahkan yang berbahasa Inggris sekalipun) banyak penggemar, perlu metode membuat komunitas. Misalnya dengan menyediakan account Twitter, Facebook Fan Page, atau mailing list. Supaya penggemar yang sudah setia cepat selalu mendapatkan info begitu edisi barunya lahir.
Untuk menjalin penggemar baru, perlu promosi. Bisa dengan pembagian edisi gratis, atau mengajak orang menulis untuk majalah tersebut.
Saat ini para generasi Facebook yang beretnis Jawa masih senang menggunakan bahasa Jawa. Mereka hanya belum dipromosikan tentang adanya Panjebar Semangat. Bisa juga mereka tahu, tapi tidak senang membacanya, karena mungkin alasan kemasannya kurang menarik minat.
Lama banget saya tak membaca PS. Yang menarik, menurut saya, majalah terbitan Surabaya ini menggunakan bahasa Jawa yang jangkep (kecuali untuk rubrik Jawa Timuran).
Pada awal 90-an, saya bingung ketika mendapati majalah bahasa Jawa terbitan Yogya menggunakan kata "gempa" padahal bahasa Jawa memiliki "lindhu" -- kata yang kemudian diadopsi oleh Koran Tempo.
Saya sendiri sulit menggunakan bahasa Jawa secara tertulis (tembre.dagdigdug.com), kalaupun alhirnya "berhasil" itu seperti bahasa Indonesia yang dijawakan. :D
Di sisi lain, tuturan bahasa Indonesia masih berbau Jawa. Repot memang. :))
menurut pengakuan salah seorang redaksinya, memang mereka mwngalami sejumlah kesulitan saat menjumpai sejumlah kata-kata atau ungkapan yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Jawa, seperti: reformasi, kabinet, kampanye dll.
Salam
aku tinggal di lampung.. dan nenek ku langganan majalah PS ( panjebar semangat ) dari dulu..hingga ia almarhum th 2002. namun di lanjutkan oleh pakde ku..untuk tidak stop langganan..dan sampai skrg pun kami masi langganan tpi tetep dg nama alm mbah ku ibu supardi :)
syukurlah bila ada yang melanjutkan, sehingga setidaknya hingga saat ini belum punah
KALAU INGIN BELI DIMANA YA?
trimakasih masih ada yang peduli di jogja juga masih ada majalah jawa yaitu Djaka Lodang
adakah yang memiliki alamat atau no.telp agen koran majalah Djoko Lodang di daerah klaten?kalo ada tolong dong aku dikasih terimakasih..
tolong alamat agen atau no telp.nya di kirim ke jerukkeprok5@yahoo.com terima kasih
semoga ada yang bisa membantu sari...
Perlu campur tangan pemerintah, misalnya mewajibkan sekolah di Jawa, atau sekolah yang memiliki banyak siswa berbahasa ibu bahasa Jawa untuk berlangganan majalah tersebut. Di hampir semua sekolah tersebut majalah itu juga tidak ada, padahal guru dan siswa sangat membutuhkannya untuk media pembelajaran.
Menjadi tugas setiap individu untuk mengenalkan anak-anaknya budaya bangsanya yang asli sehingga tumbuh rasa cinta semakin kuat dengan budaya asli indonesia. Semoga.....
Saya ada beberapa eksemplar majalah jaya baya dan Penbr Semangat tersebut edisi th.70an dan 80an..
Jika ada yg berminat silahkan WA/sms 083813942123
Tulisanku cerkakku tahun 1990-an beberapa kali dimuat di Djoko Lodang (Harry), semoga saja para penulis bahasa jawa masih peduli untuk tetap melestarikan, karena bahasa jawa merupakan akar budaya di kota Yogya pada khususnya dan keturunan orang Jawa....
Apa ada ya, e-Books untuk majalan ini. Pingin langganan e-Books nya aja kalau ada.
Post a Comment
Pembaca dapat memberikan komentar yang terkait dengan artikel yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan penulis blog dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator. Komentar yang berisi promosi atau tautan yang mengarah ke situs pornografi, perjudian atau pelanggaran lain akan dihapus.