Showing posts with label media. Show all posts
Showing posts with label media. Show all posts

Reality Show yang Tidak Real

Dalam beberapa tahun ini tayangan reality show telah merebut perhatian pemirsa di tv. Dan tidak hanya di Indonesia tayangan relality show juga sukses di luar negeri sehingga dibuatlah sekuelnya. Tayangan kejadian nyata yang dibumbui dengan keharuan, emosi dan ketegangan rupanya telah membuat emosi penonton tv untuk ikut terlibat di dalamnya. Tapi benarkah semua tayangan itu adalah nyata?

Salah satu game reality show yang tersukses dan disaksikan oleh berjuta pemirsa adalah Survivor. Reality show yang ditayangka di Amerika sejak tahun 1992 ini menggunakan system audisi bagi para peserta, dan kemudian peserta akan diasingkan di sebuah pulau tak berpenghuni. Begitu beratnya game ini sebab semua peserta tidak boleh membawa bekal atau apapun, tapi harus bisa survive dalam keadaan yang serba primitive dan kadan harus makan seadanya.

Tapi benarkah para peserta harus benar-benar menjalani kehidupan seperti itu? Ternyata tidak. Sebab ternyata mereka hanya berakting dan menjalani skrip dari sang sutradara. Sebenarnya para peserta tidak harus tinggal di pulau terpencil dan makan seadanya. Para peserta memang dibawa ke tempat terpencil tapi sebenarnya mereka tinggal di perkemahan yang mewah di dalam mobil yang nyaman dan makan dengan makanan yang lezat. Demikian juga ketika diceritakan bahwa ada peserta yang hilang di laut, kenyataannya tidak demikian.

Demikian juga dengan reality show The Bachelorette yang sukses sejak ditayangkan tahun 1993 oleh televisi ABC network ini. Dalam reality show yang telah memasuki session 6 ini para peserta akan mencari jodoh. Tapi ternyata reality show ini juga menipu pemirsa. Pada session 1 di tahun 1993 ketika itu Tristan Rehn memilih Ryan Sutter sebagai pasangannya. Namun kenyataannya adalah mereka diberi uang tutup mulut sebesar 1 juta dollar agar merahasiakan kepada public bahwa acara itu sudah diskenario.

Demikian juga dengan reality show The Simple Life yang diperankan oleh Paris Hilton dan Nicole Richie. Dalam tayangan ini kedua wanita cantik tersebut dituntut untuk meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini dijalani dan merasakan kehidupan baru dengan bekerja di ladang, sawah dan mengelola peternakan. Mereka juga harus menanggalkan segala kemewahan, mulai mobil, gadget dan make up.

Tapi ternyata semua itu hanya bohong belaka. Kenyatannya mereka tidak benar-benar tinggal di tempat butut itu. Ternyata mereka tinggal di hotel mewah di dekat lokasi dan menjalani syuting sebagaimana tuntutan sutradara. Itu adalah reality show di manca yang ternyata menipu. Bagaimana di Indonesia ya? (ref: Olga!/ill: whynotcoconut.com)

Read More...

Sinetron yang Merusak Moral Bangsa

Sudah agak lama saya merasa jengah (untuk tidak mengatakan muak) terhadap tayangan sinetron di tv-tv swasta nasional, dalam beberapa tahun belakangan ini, walaupun memang secara visual mereka menampilkan pemandangan yang menyegarkan.

Apalagi, tontonan tersebut terus mendominasi mayoritas tv, hanya beberapa saja tv yang memilih untuk melawan arus. Dan biasanya tayangan sinetron tersebut ditaruh pada jam prime time, pada saat seluruh anggota keluarga berkumpul, dan seharusnya mendapatan tontonan yang bermutu dan menyegarkan.

Saya semakin benci dengan sinetron-sinetron tersebut, setelah mereka semakin menampilkan kecenderungan yang tidak mendidik. Dengan setting lokasi yang tidak pernah jauh-jauh dari ruang keluarga dan meja makan, jalan ceritanya juga tidak begitu sulit untuk ditebak.

Kaya secara instant dengan menghalalkan segala cara, termasuk merebut harta orang lain secara tidak masuk akal. Berebut suami atau pacar, menjadi pemandangan yang lazim. Dan membunuh orang lain, seakan menjadi suatu hal yang mudah dilakukan.

Konflik-konflik dalam sinetron juga terlihat dibuat-buat dengan tidak mengindahkan logika. Pada sinetron-sinetron yang mendapat rating tinggi biasanya jalan cerita dibuat sepanjang mungkin, demi mereguk iklan sebanyak-banyaknya. Lihat saja misalnya sinetron Cinta Fitri yang sudah hampir mancapai episode seribu dan tampaknya masih akan dipertahankan terus.

Sinetron-sinetron tersebut biasanya gemar sekali memamerkan kehidupan keseharian yang serba glamour dan bermandikan kemewahan. Artis-artis yang tampan dan cantik (biasanya yang berwajah indo) meski kadang aktingnya pas-pasan, dan kurang pas untuk berperan sebagai gadis miskin atau pembantu. Sumpah serapah, caci maki dan kekerasan seakan menjadi keseharian. Tokoh antagonis biasanya digambarkan sebagai seorang yang licik, pintar, berbicara dengan penuh kebencian sambil matanya melotot.

Lalu saya tiba-tiba merindukan hadirnya sinetron-sinetron jaman dulu, ketika di negeri ini baru ada TVRI. Sinetron seperti Rumah Masa Depan, Jendela Rumah Kita yang bersahaja dan membumi.

Atau sinetron di tahun 90-an ketika televisi swasta belum terlalu kemaruk iklan, seperti Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara. Kita merindukan hadirnya sinetron yang bukan hanya memberikan tontonan tapi sekaligus tuntunan, sebab pada dasarnya kotak ajaib bernama televisi tersebut punya banyak keajaiban untuk mempengaruhi perilaku masyarakat. (gambar: maksumpriangga.com)

Read More...

Memandang Soeharto dari Sisi Lain

Gajah mati meninggalkan gading, kata orang. Seperti halnya Soeharto, bahkan jauh hari setelah meninggalnya pun masih banyak menyisakan tafsir tentangnya. Salah satunya adalah versi saudara tirinya, Probosutedjo. Setidaknya hal itu yang tertulis dalam buku “Memoar Romantika Probosutedjo, Saya dan Mas Harto” karya Alberthiene Endah.

Probosutedjo yang lahir pada 1 Mei 1930 adalah saudara tiri Soeharto, yakni saudara satu ibu lain ayah, sejak kecil selalu dekat dengan Soeharto. Tak heran dia juga dekat dengan putra-putri Cendana sejak mereka kanak-kanak. Di sini Probo juga bercerita tentang Tutut kecil yang pemalu yang sering menutupi wajahnya dengan sapu tangan. Sigit dan Bambang yang sering berantem bahkan sampai berdarah-darah. Titik yang tomboy dan sering keluar dari kamar lewat jendela dan Tommy Soeharto yang pernah step.

Tentang naskah Supersemar, menurut Probo ketika itu Soeharto tidak menyimpannya karena dia hanya berfokus pada tanggung jawab sebagai pengemban tugas Presiden dan bukan hanya pada bukti fisik selembar kertas. Dan ketika naskah digandakan dengan mesin ketik, tidak ada yang memperhatikan di mana naskah yang asli. Jadilah naskah itu tetap misterius hingga kini.

Dalam bukunya, Probo juga menolak bahwa kesuksesannya adalah karena kedekatannya dengan Soeharto, buktinya adalah dari sekian banyak saudara dan kerabat Presiden tapi hanya dia dan Sudwikatmono yang menjadi pengusaha. Namun demikian, dia juga tidak menyangkal bahwa dia sering bergesekan dengan anak-anak Soeharto dalam bisnis.
Misalnya, dia pernah jengkel dengan Tutut karena tergeser dari kesempatan untuk membangun Bandara Polonia Medan. Juga pernah batal membangun refinery di Jawa Timur karena Bambang lebih dulu mendapat ijin dari Menteri Perdagangan. Bersaing dengan Sigit dalam pengadaan solar untuk kapal pesiar. Dan di tahun 1980-an berkonflik dengan Tommy karena BPPC.

Probo juga pernah bertanya pada Soeharto, apakah dia tidak tahu bahwa anak-anaknya menjadi sorotan masyarakat tentang sepak terjang bisnisnya. Kata Soeharto “mereka sudah dewasa, sudah bisa menanggung dosa sendiri jika memang bersalah…”

Mengenai kematian Ibu Tien, banyak beredar gossip bahwa Ibu Negara tersebut wafat karena terkena peluru nyasar akibat tembak menembak antara Bambang dan Tommy. Tapi menurut Probo, Ibu Tien sudah mengalami penurunan kesehatan semenjak tahun 1996.
Pada tanggal 27 Oktober 1996, setelah berjalan-jalan di Mekar Sari pada malam harinya dia mengeluh kecapekan. Pukul 03.00 dia terkulai lemas, dan karena sopir belum datang Soeharto menyetir mobil sendiri membawa Ibu Tien ke RSPAD.

Dan setelah Ibu Tien wafat, maka perlahan-lahan masa kejayaan keluarga Cendana lalu meredup. Sementara Probo sendiri dipenjara 4 tahun karena didakwa kasus korupsi dana reboisasi HTI. (gambar: hiburan.kompasiana.com)
Read More...

Majalah Bahasa Jawa, Riwayatmu Kini

Saya mengenalnya di sebuah kios kecil agen majalah, ketika sedang membeli sebuah koran nasional terbitan Jakarta. Rambutnya memutih kapas, umurnya mungkin 60-an, Pak Kirno, pensiunan guru. “Saya membeli majalah ini sejak harganya masih Rp 150, sampai sekarang,” di tangannya ada majalah berbahasa Jawa, edisi terbaru. Panjebar Semangat. Lalu katanya setengah mengeluh, setengah prihatin: “…kalau orang-orang muda pasti tidak tahu majalah ini…” Lalu saya masih teringat pada Pak Kirno. Kagum atas kesetiannya, kagum atas dedikasinya untuk tetap menghidupkan majalah itu hingga kini. Juga merasa bersalah, sebab saya mungkin di antara orang-orang muda itu.

Memang ironis, meski mayoritas dari lebih 200 juta penduduk Indonesia adalah orang Jawa, namun ternyata tidak banyak ditemukan media berbahasa Jawa di negeri ini. Saat ini tinggal 3 media berbahasa Jawa yang masih eksis di Indonesia. Yaitu Jaya Baya dan Panjebar Semangat, keduanya terbit di Surabaya dan Djoko Lodang di Yogyakarta. Masih untung di Solo ada koran Solo Pos yang selalu menyisipkan suplemen berbahasa Jawa setiap Kamis.

Khusus untuk JB dan PS, ternyata majalah tersebut sudah berusia puluhan tahun, mereka ikut menjadi saksi perjalanan republik ini. PS yang namanya tetap menggunakan ejaan lama terbit kali pertama tahun 1933. Pendirinya adalah tokoh pergerakan dr. Soetomo, yang juga pendiri Budi Utomo. Sementara JB pertama kali terbit di Kediri pada 1 Desember 1945, sebelum kemudian pindah ke Surabaya. Uniknya, meski terbit di Surabaya namun kedua majalah tersebut tetap menggunakan bahasa Jawa dengan gaya Jawa-Tengah-an ngoko halus, dan bukannya dengan dialek khas arek Suroboyo-an.

PS pernah mengalami puncak kejayaan di tahun 1950-1960. Ketika itu PS terbit dengan oplah hingga 80.000 eksemplar, mengalahkan majalah terkenal berbahasa Indonesia yang terbit di Jakarta Star Weekly. Angka tersebut tentu saja cukup fenomenal mengingat tahun tersebut tentu saja belum sebesar sekarang, dengan persentase penduduk yang melek huruf juga relative sedikit.

Sementara JB juga pernah merasakan masa keemasan dengan di tahun 1990-an dengan tiras 90.000-an eksemplar. Ketika itu andalannya adalah vignette, yang menyajikan angka-angka untuk diterjemahkan menjadi kode-kode KSOB, alias kupon berhadiah.

Tapi itu dulu. Kini majalah-majalah itu terus kesepian. Meski tetap menyajikan menu seperti biasa, pengetahuan umum, dunia Jawa, cerita pewayangan, cerita bersambung, cerita pendek dan dunia misteri, dengan nyaris tanpa iklan. Tirasnya juga terus menurun, hanya sekitar 10.000-an. Padahal majalah-majalah tersebut telah menghasilkan nama-nama besar di khasanah sastra Jawa. Seperti Suparto Brata, Any Asmara, Esmiet, Tiwiek SA, Tamsir AS, hanya beberapa nama.

Majalah-majalah tersebut mencoba terus bertahan di tengah perubahan jaman. Mereka mencoba terus setia dengan idealismenya untuk tetap mengabadikan bahasa Jawa kepada para pelanggannya yang setia menunggu. Para pelanggan itu ternyata tidak hanya tersebar di pulau Jawa saja, namun bahkan hingga Aceh dan Papua bahkan ke manca, Suriname dan Belanda. Tentu saja mereka hanya orang-orang tertentu, seperti Pak Kirno dan orang-orang sepuh lainnya. Coba, seandainya ditanyakan kepada anak-anak muda, ‘generasi facebook ‘itu, niscaya tidak akan banyak yang kenal nama-nama majalah jadul tersebut.

Dan jika suatu saat nanti Pak Kirno sudah tidak ada, akan berkurang lagi pelanggan setia majalah-majalah tersebut. (gambar dari guskar.com)
Read More...
 
Copyright (c) 2010 Blogger templates by Bloggermint
Powered by : Blogger